EVANGELISASI DALAM KERJA (Catatan harianku dalam perjalan evangelisasi di Lau Baleng)
Tahun 2018 adalah tahun bersejarah bagiku karena adanya penugasan baru ke Tanah Karo. Tak pernah terlintas dalam benakku menegnai daerah ini sebelumnya. Ketika hari pertama di tanah Simalem ini, ada beribu sukacita karena keramahan umat, semangat bekerjanya yang sangat tinngi, karena kontur ladang masyarakat, karena system kekeluargaan, dll. Semuanya memikat saya untuk senantiasa menikmati detik demi detikku di sini.
Cinta pada pandangan pertama
Pengalaman perdana tentu selalu membekas. Teringat
olehku akan perjumpaan pertama dulu adalah kunjungan ke Stasi Huta Ginjang.
Stasi di atas gunung. Kami berjalan kaki selama 3 jam. Waktu selama itu bukan
karena jauh tetapi karena jalan tanjakan yang sangat terjal. Kalau mengendarai
sepeda motor, waktu tempuhnya hanya 15 menit. Tetapi tidak boleh berhenti,
sebab sangat sulit untuk menghentikan kendaraan itu sebab jalannya menanjak.
Lebih sulit dari itu adalah perjalanan pulang sebab menurun dengan curam. Tapi
di pelosok sana ada Iman. Itulah yang memanggil. Pengalaman pertama ini
memberikan catatan penting bagiku: Saya harus mempersiapkan fisik yang baik,
model katekese yang mengena, belajar tradisi umat (bahasa dan adat istiadat) dan
saya harus “berkeringat” seperti mereka.
Altar yang seluas Ladang
Tidak banyak kesulitan. Dua bulan pertama, saya sudah
mengunjungi separoh dari stasi-stasi yang ada. Saya membuat analisa pastoral
berdasarkan kenyataan yang ada: pendidikan umat, mata pencarian umat,
geografis, relasi kekerabatan. Ibadat dan misa kudus, umumnya dibawakan dalam
bahasa Karo.
Tanah Karo, pada umumnya, dan Lau Baleng pada
khususnya, adalah medan evangelisasi dari Keuskupan. Artinya, daerah ini
merupakan daerah yang masih dalam “proyek” evangelisasi. Pengaruh Protesan
sangat kuat di dalam masyarakat termasuk di dalam gereja Ktolik. Kehidupan
menggereja yang didominasi oleh kaum Ibu (pernanden) daripada kehadiran kaum
Bapa (perbapan). Kehidupan ekonomi yang sangat monoton pada jagung yanghasilnya
sangat bergantung pada curah hujan dan pupuk (kimia).
Memberi homili kepada sekelompok umat yang hadir di
gereja tentu tidak cukup. Rasanya tidak menjangkau semua. Ada yang luput dari
siraman Firman Allah. Ada yang tersembunyi dalam kesibukan. Maka “altar” itu
diperluas, diperlebar hingga ke ladang-ladang umat. Mengunjungi umat di
ladang-ladang mereka, itulah yang kami lakukan. Menanam jagung, memupuk,
memanen itu sudah biasa. Yang belum adalah menghitung uang hasil jualan mereka.
Bekerja dan berevangelisasi
Situasi umat disini yang tidak tertarik untuk membaca.
Banyak buku-buku yang menumpuk dan tidak pernah dibuka dan dibaca. Umumnya umat
mau mendengar saja. Itupun yang didengar harus ringan, lucu, santai, tidak
mengikat dan membebani. Lalu bagaimana Sabda Allah itu dibawakan dalam cara
yang ringan, lucu, santai dan tidak mengikat dan membebani itu. Di lain pihak,
kehidupan perekonomian juga tetap tidak banyak peningkatan. Banyak keluarga
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Maka, ikut berkeringat bersama umat bisa
menjawab dua kepentingan dasar diatas: mewartkan Sabda Allah dalam “bahasa
jemaat” dan member motivasi untuk membaharui kehidupan ekonomi. Mau tidak mau,
homili (pengajaran dan katekese) harus masuk melalui pintu “berkeringat seperti
umat”.
Motivasi dan Semangat Menggereja
Dari sekian banyak kendala yang dihadapi dalam
pewartaan Sabda, motivasi – lah yang menjadi tantang terberat. Motivasi
melahirkan visi dan sekaligus membangkitkan usaha-usaha kreatif. Maka bahasa
atau model katekese yang paling ampuh katekese yang bersifat motivatif –
mendorong, membangkitkan semangat baru.
Secara pribadi, saya memberikan katekese yang
motivatif melalui pekerjaan tangan saya (opus manuale) sebagaimana yang ada di
area pastoran. Saya menanam jagung 1 sak (5 kilo), saya menanam pisang, saya
menanam papaya, saya menanam jahe. Lahan Pastoran kami memang tidak luas.
Keindahan tamannya tetap terjaga dengan baik, tetapi area khusus untuk
pertanian saya maksimalkan. Ada juga puluhan ekor ayam yang kami konsumsi
sendiri termasuk untuk kegiatan pastoral tertentu. Lele jumbo juga sempat
menjadi menu utama dalam Rapat Paripurna Paroki. Semua memberi kontribusi untuk
kebaikan manusia. Prinsipku lahir dari perkataan Yesus sendiri: BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun
bekerja juga (Yoh 5: 17).
Saya senang melihat kuncup-kuncup daun dari tanaman
yang kutanam. Bagiku itu sudah menjadi bagian dari hasil panenanku. Damai,
seperti menemukan Tuhan sendiri. Rasanya
seperti pengalaman Zakheus (Luk 19: 1-10) yang berjumpa dengan Tuhan.
Alangkah baiknya kalau pengalaman seperti itu disebar-luaskan sehingga kita
bekerja bukan demi kerja itu sendiri, kita bekerja bukan demi uang tetapi demi
perjumpaan dengan Tuhan. hasil dari sebuah pekerjaan akan berlipat ganda kalau
ada “kesadaran” rohani di dalam pekerjaan itu sendiri. Sungguh, saya percaya
Alalag Bapa itu senantiasa bekerja. Bukan hanya pada saat penciptaan tetapi
penciptaan itu diteruskanNya dalan setiap jengkal hidup manusia. Dan Tuhan
Yesus mengajarkan bahwa manusia dipanggil untuk bekerja bersamaNya untuk
menjadi keutuhan pekerjaan Tuhan di semesta raya ini. Maka saya bekrja. Apapun;
bertani beternak, bertukang, menjadi tukang taman, dll.
Lit maka mehaga
Inilah salah satu slogan dalam masyarakat Karo: lit maka mehaga., “kalau Anda memiliki
maka Anda akan dihargai orang” begitu kurang lebih maknanya. Saya memahami
slogan ini sambil mengingat perumpamaan tentang Talenta dalam Kitab Suci. Ada
yang diberikan lima talenta, ada yang
dua talenta dan ada yang hanya satu talenta. Yang punya lima dan dua
talenta dikembangkan mereka dan menjadi berlipat ganda karena mereka
“mempunyai” (lit) motivasi yang baik.
Dan karena itu pula kepada mereka diberikan bonus oleh Allah (mehaga). Bagaimana dengan yang tidak memupunyai?
Jangankan diberi bonus pujian, malah segala sesuatu yang ada padanya semuanya
diambil. Maka, saya merenungkanbahwa kita harus “mempunyai” dalam hidup ini. Dan
toh Tuhan telah memberikannya kepada masing-masing manusia, sekarang tinggal
kita mau menggunakannya atau tidak.
Catatan terakhir: Mari bercerita apa yang kita alami
Komentar
Posting Komentar