Mengembangkan Misi Evangelisasi Melalui Inkulturasi dalam Perayan Ekaristi (Part 2)
Ø Inkulturasi:Proses Memberi dan Menerima
Pesan sinode 1977 menyatakan: Inkarnasi Iman yang sesungguhnya melalui
katekse melibatkan bukan hanya proses memberi, tetapi juga menerima (nr.5). Hal
ini berati bahwa bukan hanya ada proses oleh iamn yang mengubah dan memurniakan
kebudayaan, tetapi juga proses yang di dalamnya iman itu sendiri
dipikirkan kembalai dan ditafsirkan lagi, tentu saja dengan batas-batas yang ditentuakan
secara jelas didalamnya dan di dalam terang kerangka tuntutan secara jelas
didalam kebudayaa.
Dalam arti ini kebudayaan-kebudayaa itu sendiri harus bermanfaat fungsi kritis penafsiran dalam hubungannya dengan Iman Gereja. Sudah sejak Kosili Vatikan II khususnya melalui Gaudium et Spes ditegaskan bahwa inkulturasi merupakan tugas seluruh umat Allah, terutama para gembala dan teolog untuk mendengarka, membeda-bedakan dan menafiskan pelbagai bahsa jaman kita, dengan bantuan Roh Kudus, lalu menilainya dalam terang Sabda ilahi, agar kebenaran yang diwahyukan selalu dapat ditanggapi dengan lebih mendalam dipahami dengan lebih baik dan disajikan dengan lebih cepat. Maka dari itu tujuan definitif inkulturasi adalah untuk memahami inkarnasi yang sejati di dalam inti setiap budaya, juga untuk menerima sebagai kenyataan nilai-nilai aspirasi yang benar dan standar yang khas. Evangelisasi akan kehilanagn banyak kekuatan dan keefektifan jika tidak memperhatikan umat yang secara nyata diberi pewartaan, bila tidak menggunakan bahasa mereka, tanda-tanda dan simbolis mereka. Hal tersebut juga akan terjadi bila evangelisasi tidak menjawab persoalan-persoalanyang mereka ajukan dan tidak punya pengaruh dalam hidup mereka yang konkrit.
Ø Kesatuan dan keanekaan di dalam Gereja
Tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja memiliki keanekaan yang besar.
Kebutuhan untuk mengamankan identitas Gereja setempat dan kesatuan Iman
Kristiani, baik dalam soal kesetian pada ajaran para rasul maupaun pada bidang
perasan kekatolikan kultural, tidak dapat diabaiakan. Inkarnasi iaman yang
sejati pada berbagai kebudayaan tidak pernah dapat diterima dengan akibat
mengorbankan kesatuan Katolik dari iamn semesta seluruh Gereja. (EN 63)
Menegaskan bahwa evangelisasi akan kehilangan pengaruhnya dan akanlenyap jika
isinya kosong atau diubah dengan dialihkan untuk menretjemahakannya. Dengan
kata lain, bial seorang mengurbankan keyataan keanekaan dan menghancurkan
kesatuannya suatu situasi loka. Bila suatu reja setempat semakin terikat pada
Gereja Universal, maka Gereja semacam itu semakain mampu menterjemahkan harta
kekayaan iaman dalam ungkapan-ungkapan yang syah, yang bermacam-macam.
Ungkapan-ungkapan tadi berupa ungkapan iman,doa ibadat hidup kristianidan
tingkah laku kristen dan pengaruh rohani pada orang-orang tempat mereka
tinggal. (bdk. EN 64).
Ø Unsur kebudayaan dan inti Iman.
Pada intunya inkulturasi mengungkpankan adanya kebutuhan yang kuat akan
kesetian terhadap isi yang tidak beubah dari iaman Kristiani. Hal ini tidak
harus di mengarti dalam istilah-istilah keseragaman eksternal dalam suatu
rumusan tetap, tetapi lebih dalam istialh persetujuan internal dan persekutuan
dengan tindakan inkarnasi kebudayaa itu sendiri. Maka yang dipertingkatkan
bukan pertama-tama soal rumusan formal syahadat atau ajaran resmi Gerejawi yang
dikabulkan, melainkan soal penghayatan inti iaman yang sungguh cocok untuk
unsur budaya yang di miliki Gereja. Sementara dikenalkan pakaian luar yang
cocok pada setiap bangsa dan dieksplisitkan oleh ungkap teologi yang memperhitungkan
kebudayaan lingkungan kultural, sosial dan rasial, masih tetap tinggal iman
katolik. Bila hal ini dapat dusahakan, maka usaha inkulturasi dapat berjalan
terus, karena memang pada hakekatnya inkulturasi merupanakan proses yang
mengikuti dinamika budaya suatu bangsa khusnya mengemabngakan iman Gereja.
Ø Kesimpulan
Maka para utusan (misionaris) yang melaksankan tugas pewartaan Injil (berevangelisasi) perlu memperhatikan unsur-unsur budaya setiap masyarkat dan bangsanya. Usaha untuk mengakarkan nilai-nilai injil dalam suatu budaya itulah yang disebut ikulturasi. Segi-segi budaya yang bai, luhur dan mulia bisa memperkaya nilai-nilai injil dan nilai-nilai injil juga bisa bersifat kritis atas unsur-unsur budaya yang ada dalam suku, masyarakat dan bangsa. Sepanjang sejarah, Gereja tidak pernah lepas dari pergumulan dengan budaya, dan telah menjadi nyata bahwa ada pengaruh yang besar dari budaya kepada Gereja dan sebliknya. Para pengikut Kristus yang menjadi Umat Allah di dalam Gereja-Nya berasal dari bermacam suku,budaya, dan pandangan hidup. Menyadari keadaan bermacam-macam dikalangan umat itu, Gereja berusaha untuk mangakarkan iman dan nilai-nilai Injil dan suatu budaya yang istilahkan dengan ikulturasi.
Ø Relevansi
Komentar
Posting Komentar